CHAPTER 2
THE PAST
“TENTANG LUKA”
19 tahun yang lalu disebuah daerah yang bisa dibilang terpencil pada zamannya di Indonesia bagian tenggara, seorang anak gadis yang berumur dua setengah tahun sedang meraung menangis berteriak saling menyahuti teriakan dua orang dewasan yang sedang beradu argument didepannya.
Tangisannya tak membuat perhatian kedua orang itu beralih pada anaknya.
Lelah dia berteriakmengucapkan ‘mamah,,mamah’ dan ‘papah,,papah’ sesekali diamenarik sudut kain agar salah satu dari mereka berhenti berteriak didepannya dan mulai memperhatikannya.
Sayang usahanya sia-sia, siapa dia?, dia hanya Dewita Arinikecil yang tak mengerti arti dari pertengkaran orang tuanya danprihal akan perceraian.
Prraannkkk!
Prrannkkkk!
Disudut ruangan gadis kecil itu masih terduduk sambil sesugukan melihat benda pecah belah terbanting salah satujarinya kirinya terkena pacahan mencap sempurna ditelunjuknya.
Sakit
Tangisannyapun semakin jadi dan semakin besar dan itu berhasil membuat perhatian sang Papah beralih dengan tatapan terkejut dia beranjak mengambil Arini kecil.
“Kau begitu egois, pergilah sesuka mu, bawa semua yang kauinginkan tapi jangan harap kau bisa membawa Arini” itu kalimat yang terucap lelaki matang yang menggendong Arinikecil sebelum beranjak pergi.
“Papah,,,hiks,,hiks,,,cakit Pah, tangan Alin utus Pah” raungnyadan menunjukan jarinya yang tertancap beling itu.
“tahan ya nduk, bentar lagi sakitnya hilang, udah jangan nangisnduk”
(okey disini Author mau ngejelasin, kalau papahnya Arini sukasekali memanggil Arini dengan embel-embel ‘nduk’, kalaunggak salah ini bahasa jawa yang artinya anak atauk nak, kalausalah tolong di koreksi)
Semenjak kepulangan Arini dari Rumah Sakit untuk mengobati tangannya tadi dia tak melihat seseorang yang dia panggil‘Mamah’ dia ingin bertanya tapi mulutnya bungkam sejak saatitu hingga Arini dewasa dia tak pernah meresakan seperti apa itu‘ibu’ yang banyak dia dengar dari temannya dengan sebutanmalaikat tanpa sayap.
Dia hanya punya ‘Papah’ yang menjadi Ibu baginya, dengansosok lelaki itu Arini tak pernah kekurangan apapun bisadibilang pada masanya masa kejayaan Arini, tapi Arini takpernah tahu seperti apa isi hati sang lelaki yang disebut ‘Papah’.
Kini Arini berada di sebuah objek wisata pantai didaerah itu, yadi Sumbawa Besar disana Arini setiap sore dia bisa menikmati
sunset yang berlalu dengan perlahan bersama sang Papah, saatitu umur Arini menginjak 5 tahun Arini suka melihat sunset sampai dia diajak pindam ke kota Mataram saat umurnya beranjak 8 tahun hari kamis tahun 2004.
Dia kembali menangis pilu dari kejauhan dia menatap pungguyang selalu ia gunakan sebagi sandaran tubuh yang selalu diagunakan sebagai ayunan dan penopang hidupnya perlahan beranjak pergi meninggalkannya.
“Papah, jangan tinggalin Arini Pah!” teriaknya
“jangan nduk, kamu harus tetap sekolah kamu harus bisa menjadi dokter nduk, papah ingin melihat kamu jadi dokternduk” ucap lelaki yang sudah tak punya apapun karena ulah sang ibu yang kebanyakan hutang, dia menitipkan anak sematawayangnya itu yang masih sekolah dasar dan masih membutuhkan diri, sebuah keadaan membuatnya harus meninggalkan putrid kesayangannya.
“Pah,,jangan tinggalkan Arin pah,, Papah Arin ikut!” tangisangadis kecil itu menggema dia tidak bisa berlari tubuhnya yang meronta tak bisa lepas dari genggaman orang yang dipanggilPapahnya dengan sebutan Tante.
“Saya pamit Tan, saya minta tolong jaga anak saya dan sayangidia seperti anak Tante yang lain” wanita paruh baya yang diapanggil Tante itu hanya mengguk dan pria itu mulai berjalanmeninggalkan pekarangan rumah itu tanpa menoleh melihatputrinya yang menangis ingin ikut denganya.
Semenjak saat itu Arini kehilangan segalanya satu-satunya yang bisa dia pertahankan adalah pendidikannya.
Hidup itu taksemanis yang ada dibenak Arini bahkan dia harus banting tulanguntuk memenui kebutuhannya sendiri sementara tempat diatinggal hanya menyediakan tempat tinggal saja untuk kebutuhanArini dia menanggungnya sendiri.
Setiap sore Arini menyempatkan diri melihat sunset hanya untukmenantikan sang papah berharap lelaki itu muncul diantara sinaryang berwarna jingga.
***
“Kamu masih disini?” tanya seorang lelaki dari arah belakangku.
‘kenapa aku selalu bertemu dengan pemuda ini, kamarin diamengganggu ku melihat sunset sekarang dia menggangguberenang’ aku menggerutu dalam hati dan memutar bola mataku.
“Hey, itu tidak sopan” ucapnya yang merespon tindakankan kubarusan
“Apa anda stalker?” tanya ku sambil naik keatas permukaan
“Kenapa kamu nanyak kayak gitu?”
“Sudah lupakan saja” ucapku sambil mengambil badrobe
danmemasangkannya ketubuhku, saat aku akan bernjak diamencegahku.
“Kamu mau kemana?”
“Saya akan pergi mengganti baju” ucapku yang takmemperdulikannya.
“Apa saya mengganggu acara berang mu?”tanyanya lagi
“Menurut anda?” jawabku
“Apa kita tak bisa menjadi teman?”ucapnya yang membuatkuterdiam, sejenak aku berfikir
‘apa aku terlalu kejam dalam memperlakukan orang lain?’ tanyaku pada diriku sendiri
“Baiklah kita teman, panggil saya Arini” Aku menyunggingkansebuah senyum dan mengulurkan tanganku padanya.
“Biandra"
Jangan ditanya setlahnya aku langsung chekup karena memang waktu ku sudah habis yah, sebagi teman yang baik aku berpamitan dengan Biandra kulihat dari raut wajahnya dia bukan orang Bali.
Dddrrrttt,,,dddrrrtttt
Bunyi telponku mengalihkanku kulihat disana ‘Desak Ayu is calling’ apa ada masalah, tumben sekali si Lemot nelpon, tanpabasi basi aku segera mengangkat panggilan darinya.
“Arini!”
Shit
Umpatku saat dia berteriak samar terdengar dia menangis.
“Ada apa kenapa kamu teriak sih?”tanya ku
“ke diaman?”
(ke adalah bahasa gaulnya di bali ketika kita berbicara dengan seumuran ingt sumuran yang artinya kamu)
“Kenapa?, ketemu dikoberlah” ucapku yang langsung di setujui olehnya.
Sejauh ini aku melangkah tak satupun aku menemukan keberadaan atau bahkan kabar dari sunset yang aku rindukan, miris satu sisiku membenci warna jingga itu dan satunya lagi betapa aku merindukan jingga yang sering kusebut senja.
Tes
Cairan bening itu menetes sudah tanpa bisa aku tahan, kapantrakhir kalinya aku menangis? Kurasa satu tahun yang lalu semenjak kejadian menjijikan itu. Dalam diam aku menatap langut kamar hening hanya bunyi jarum jam yang menggema menandakan jam itu masih berfungsi
Segera aku bangkin dan menghapus sisa air mataku kembali keluar bertemu dengan Desak Ayu yang aku pastikan akan mengomel jika tidak melihatku ditempat yang aku janjikan dengannya.
“Lama banget ke, Aku udah jamuran nungguin tahu” aku mengomel setelah setengaj jam lamanya aku menggunya datang tapi yang ditunggu malah baru muncul setengah jam kemudian.
“Sorry dech, macet tadi” ucapnya meresa bersalah, entah benar atau tidak kerena macet.
“Ke kenapasih?” tanya to the poin, yah aku memang bukan tipeorang yang suka basa-basi
“Yoga suka sama kamu!” ucapnya dengan suara sedikit membentak.
Kaget!
Aku tak tahu harus berbicara apa, aku baru sekali minggu lalu beretemu dengan Yoga dan lelaki itu udah suka sama aku, pasalnya Yoga itu pacarnya Desak, Desak Ayu ini teman aku bisa dibilang sahabat sih, jangan bilang yoga mutusin ni anak. Dasar manusia berngsek kalau orang bali bilang ‘jelemo naskleng’.
***